Kinerja pelayanan di RSUD Purbalingga -Mutu layanan rumah sakit (RS) di purbalingga saat ini masih belum memenuhi standar pelayanan minimal (SPM). Berdasarkan penelitian ICW di Jabodetabek saja yang jauh lebih maju, sebesar 70,5 persen pasien RS swasta dan pemerintah mengeluhkan buruknya pelayanan RS secara umum.
SEBANYAK 10,2 persen pasien di antaranya mengaku pernah ditolak di RS. Upaya pemerintah memberikan layanan kesehatan bagi masyarakat miskin dianggap hanya isapan jempol belaka. Ada pasien yang sudah dalam kondisi sekarat sering dipersulit gara-gara masalah administrasi. Terlebih bagi masyarakat pengguna kartu Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat). Ketua II Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Sumardjati Arjoso menyayangkan mutu layanan kesehatan yang diberikan pemerintah terhadap masyarakat miskin. Di RS, sebagian pasien miskin ditelantarkan atau dipersulit birokrasinya.
"Seharusnya, di negara kapitalis ini, pasien UGD itu diutamakan lebih dulu, bukan malah mempersulit dengan berbagai alasan," kata Sumardjati di acara Dialog Interaktif Mengenai Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit di Jakarta, Kamis (17/3). Menurut Sumardjati, kondisi seperti itu harus diperhatikan pemerintah. Praktik "kesenjangan kesehatan disebabkan masih banyaknya RS yang tidak mengikuti SPM yang memiliki akreditasi, baik kualitas layanan, sumber daya manusia dan fasilitas alat-alat medis.
"SPM inilah yang harus dikaji kembali. Apakah semua RS sudah memenuhi SPM atau belum, termasuk akreditasinya? Apa sanksinya jika ada RS yang tidak memenuhi standar tersebut," tanya Sumardjati. Ia mengatakan, buruknya pela-yanan kesehatan saat ini akibat tidak adanya badan pengawas di RS. "Keberadaan badan pengawas sangat penting untuk mengawasi proses pelayanan kesehatan yang dilakukan RS terhadap pasiennya, terutama bagi masyarakat miskin," ujarnya.
Ketua Kompartemen Umum Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) Djoti Atmodjo mengakui, masih banyak RS yang belum memiliki akreditasi alias SPM. Berdasarkan data yang dihimpunnya, baru 41 persen dari seluruh RS sebanyak 1.523 yang memiliki akreditasi.
"Jadi masih ada sekitar 59 persen lagi yang belum terakreditasi," kata Djoti.
RS yang belum terakreditasi ini diberikan waktu dua tahun sejak dikeluarkannya UU No. 44 tahun 2009 untuk memenuhi akreditasi. Jika sisa RS yang belum terakreditasi tetap tidak memenuhi akreditasi, kata Djoti, maka akan dikenai beberapa tahapan. Mulai dari teguran, teguran tertulis, denda hingga pencabutan izin operasi RS.
Monitoring Pelayanan Publik Indonesian Corruption Watch (ICW) Febri Hendri mendesakpemerintah segera menyusun Peraturan Pemerintah soal Badan Pengawas Rumah Sakit (PP BPRS) dan mengesahkan RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). "PP BPRS ini diharapkan mampu menjadi lembaga kontrol RS melalui mekanisme pengadaan," ujarnya.
Pembahasan RUU BPJS di tingkat legislatif kini mandek lantaran banyaknya perbedaan pendapat antara pemerintah dan anggota parlemen. ICW berharap, pemerintah maupun DPR dapat mengesampingkan kepentingan bisnis dan politik agar RUU tersebut dapat segera disahkan.
"UU ini yang akan menjamin biaya pengobatan seluruh rakyat Indonesia di berbagai RS dan Puskesmas," kata Febri.
PenelitianlCW terhadap RS swasta dan 12 RS pemerintah di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) mengungkapkan, sebanyak 70,5 persen dari 986 pasien responden mengeluhkan pelayanan RS secara umum. Sebanyak 10,2 persen di antaranya mengaku pernah ditolak di RS.
Seluruh responden yang disurvei ICW merupakan pemegang kartu Jamkesda, Jamkesmas, Gakin (Keluarga Miskin). dan SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu). Survei dilakukan selama satu bulan pada-13 Oktober 2010.
Dari kasus tersebut jelas menyebutkan bahwa RS di atas tidak memenuhi persyaratan SPM karena Ada pasien yang sudah dalam kondisi sekarat sering dipersulit gara-gara masalah administrasi. Terlebih bagi masyarakat pengguna kartu Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat). Seharusnya pasien miskin juga mendapatakan pelayanan UGD yang sama, tanpa dipersulit.